PENYULUH
ADALAH BEGAWAN
|
BADAN PELAKSANA PENYULUHAN DAN KETAHANAN PANGAN (BPPKP)
KABUPATEN MAGELANG
Lembar Persetujuan
Buku
berjudul penyuluh adalah begawan ini ditulis sebagai bahan bacaan bagi penyuluh
dan bahan pembinaan bagi penyuluh kabupaten dalam rangka untuk meningkatkan
kridibilitas seorang penyuluh khususnya di Kabupaten Magelang dan buku ini
telah disyahkan oleh kepala KIPPK Kabupaten Magelang.
|
KATA PENGANTAR
Dengan
memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan
hidayah serta ijin dan ridho-Nya sehingga buku yang berjudul PENYULUH ADALAH
BEGAWAN dapat tersusun.
Buku ini disusun
sebagai bahan bacaan bagi para penyuluh baik penyuluh pemerintah, penyuluh
swasta dan penyuluh swadaya dalam rangka untuk meningkatkan kridibilitasnya
sehingga menjadi penyuluh yang profesional yang pada akhirnya bisa menjadi
pelayan yang prima.
Menyadari
sepenuhnya dengan keterbatasan pengetahuan penyusun sehingga buku ini masih
jauh dari sempurna sehingga kritik, masukan sangat diharapkan demi
penyempurnaan buku ini
Akhirnya semoga
buku ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
DAFTAR ISI
Lembar
judul...................................................
Lembar
persetujuan .......................................
Kata Pengantar
...............................................
Daftar
isi..........................................................
BAB. I.
PENDAHULUAN .....................................
BAB. II. APA
SEBETULNYA TUJUAN ORANG
HIDUP.................................................
BAB. III. SIKAP
DAN PERILAKU YANG HARUS
DIMILIKI OLEH PENYULUH..................
BAB.IV.
|
BAB.
I. PENDAHULUAN
Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan
Kehutanan yang dicanangkan Presiden RI pada tanggal 11 Juni 2005, telah
ditindak lanjuti oleh Departemen Pertanian dengan berbagai program dan kegiatan
diantaranya Revitalisasi Penyuluhan Pertanian.
Revitalisasi Penyuluhan Pertanian telah
dicanangkan oleh Mentri Pertanian pada tanggal 3 Desember 2005 di Banyuasin,
Sumatera Selatan. Revitalisasi Penyuluhan Pertanian akan berjalan dengan baik
apabila mempunyai payung hukum yang kokoh yaitu Undang-Undang Sistem Penyuluhan
Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan.
Pada tanggal 18
Oktober 2006 tepatnya pada tanggal 25 Ramadhan 1427 H, telah terjadi peristiwa
yang bersejarah tentunya bagi para penyuluh dan petani serta insan pertanian
pada umumnya yaitu disahkannya Rancangan Undang-Undang Sistem Penyuluhan
Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan menjadi Undang-Undang Sistem Penyuluhan
Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan pada acara Rapat Paripurna DPR-RI. Momentum
yang bersejarah itu juga disaksikan oleh para penyuluh yang hadir di gedung
DPR-RI.
Dengan disahkannya Undang-Undang Sistem
Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan tersebut, dipandang merupakan
suatu titik awal yang cerah dalam pemberdayaan para petani, khususnya oleh para
penyuluh pertanian. Titik awal ini harus disyukuri dan cermati dengan baik
sehingga mampu mendorong semangat untuk bekerja lebih baik.
Beberapa hal yang paling mendasar dan
penting yang perlu kita cermati dalam Undang-Undang Sistem Penyuluhan
Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan ini antara lain yang tercantum pada
konsideran mengamanatkan bahwa penyuluhan sebagai bagian dari upaya
mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum merupakan hak
asasi warga negara Republik Indonesia. Pemerintah berkewajiban menyelenggarakan
penyuluhan di bidang pertanian, perikanan, dan kehutanan. Amanat Undang-Undang
tersebut sangat jelas bahwa penyelenggaraan penyuluhan merupakan kewajiban
pemerintah dan merupakan hak bagi petani.
Keberhasilan revitalisasi pertanian
perikanan dan kehutanan (RPPK) dan revitalisasi penyuluhan penrtanian (RPP)
nampaknya sangat tergantung kesanggupan, keberanian para pelaku penyuluhan
untuk merevitalisasi jiwanya sebagai seorang penyuluh.
Yang menjadi pertanyaan apakah jiwanya
penyuluh sudah tidak loyo?... pertanyaan ini kita kembalikan kepada
masing-masing para pelaku penyuluhan. Namun berdasarkan pengamatan penulis,
akibat kebijakan pemerintah yang kurang mendukung keberadaan penyuluh dimasa
yang lampau menyebabkan semangat (etos kerja) para penyuluh menjadi menurun,
kenyataan ini sangat diperlukan sentuhan jiwa dan pembangkitan kembali, sehingga akan menjadi lebih ahli dalam
bidangnya (baik bidang teknologi maupun ahli dalam berbicara sebagai seorang
fasilitator/teknik fasilitasi), dan dalam melaksanakan tugasnya merupakan
panggilan jiwa, serta dalam melaksanakan tugas selalu dilandasi moral yang utama.
|
BAB. II. APA
SEBETULNYA TUJUAN ORANG HIDUP
Setiap orang hidup didunia ini dapat
dipasti mempunyai tujuan, beberapa pengalaman bagi penulis ketika menjadi
fasilitator pada pertemuan pertemuan baik yang dilaksanakan oleh pemerintah
maupun suasta, ketika penulis menanyakan apa tujuan hidup saudara datang di
tempat pertemuan ini jawabannya sangat bervareatif dan bermacam-macam, ada yang
mereka menjawab ketika datang diundang ke sebuah pertemuan agar semakin
bertambah wawasan dan pengetahuannya, ada yang menjawab untuk mencari teman
baru, ada yang menjawab untuk menambah penghasilan. Dan ketika penulis
menanyakan apa tujuan orang hidup jawabnya juga bermacam-macam, ada yang
menjawab hidup adalah untuk beribadah menyebah kepada-Nya, ada yang menjawab
untuk berbuat amal kebaikan sebanyak-banyaknya, ada yang menjawab untuk mencari
harta untuk memberinafkah kepada anak dan istri dan masih banyak jawaban lain.
Tapi kalu disimpulkan menurut penulis
ternyata tujuan orang hidup itu untuk mencari kedamaian lahir batin baik
dudunia sampai diakherat nati, orang jawa mengatakan “Gesang menika estunipun namung kepingin ngupadi raharjaning manah
wiwit kawitan prapteng ndelahan mengkone”
Untuk mencapai pucak tujuan orang hidup
memang tidak mudah, harus berupaya dengan sungguh-sungguh dengan menggunakan
dan mengerahkan seluruh potensi yang ada namun juga harus dipahami tidak
melanggar aturan-aturan kejadian yang ada. “Ora
ana Jangka kang jinangka tanpa jangkah, lamun jumangkah kudu nganggo waton lan
wewarah”
Bagi kehidupan di Pulau Jawa Terutama
di jawa tengah ini ada budaya yang melekat dan mendarah daging setiap akan
mempunyai hajat baik itu mendirikan rumah, mau punya gawe mantenan, supitan dan
lain-lain sering didahului dengan kegiatan yang dinamakan Wilujengan atau selamatan
Salah satu uborampe atau sarana dalam
selamatan itu ada barang nasi yang dibuat (dientha)
gunung yang orang jawa mengatakan bucu atau
tumpeng. Tumpeng ada yang
mengartikan metune ben mempeng, mentune
yen wis mempeng.
Kalu kita cermati bentuk dari pada
tumpeng, ada yang mengarah keatas atau vertikal dan ada yang mengarah mendatar
(horizontal)
VERTIKAL
HORIZONTAL
Sesepuh orang Jawa mengatakan ”lamun jeneng sira kepingin raharja uripe
wiwit kawitan prapteng ndelahan mengkone jeneng siro kudu ngerti lan nglakoni
maknane bucu” artinya kalau anda
ingin hidup sejah tera lahir batin di dunia dan akherat maka anda harus
memahami dan melaksanakan makna yang ada dalam tumpeng.
Arah vertikal mempunyai makna hubungan
antara hamba dan sang pencipta, hamba dengan sang khaliq (habluminalloh),
sedangkan yang horisontal mempunyai makna hubungan antara hamba dan hamba
(habluminanas).
Kalau setiap manusia bisa menjalankan
kedua hal tersebut dengan baik sesuai dengan agamanya masing-masing maka dapat
dipastikan kalu hidupnya akan memperoleh kebahagian di dunia dan di akherat.
Kebahagiaan seseorang tidak bisa
dipandang atau diukur dari salah satu sisi saja, melainkan harus dilihat dari
kedua duanya.
Prinsip dalam horizontal adalah bahwa
hidup ini untuk mencari saudara yang sebanyak-banyaknya, dan menghindari atau
brupaya jangan ada satu orangpun yang menjadi musuh, seperti apa yang pernah
disamapaikan mantan presiden Republik Indonesia Abdulrahman Waqid bahwa saudara
seribu itu masih sangat sedikit, musuh satu itu sudah terlalu banyak.Untuk
mencari Saudara yang sebanyak banyaknya itu tidak mudah artinya setiap orang
harus mampu meningkat kridibilitasnya agar bisa lebih banyak mendarmakan
hidupnya dan dapat diterima oleh pablik disemua tempat, ” Tiyang gesang kedang mbudidaya ngindhakaken bobot sikebing agesang
murih saget katampi ing sadhengah jagat ”
Orang hidup apabila bisa diterima
dimana berada baik ketika ada di kantor (bagi karyawan, karyawati), di
terminal, dilingkungan RT, RW dan sebagainya maka orang akan bahagia hidupnya
karena segalanya akan menjadi lebih ringan dan mudah dalam menyelesaikan
permasalahan.
Penyuluh adalah salah satu figur
seorang begawan artinya harus bisa
|
BAB. III. SIKAP DAN PERILAKU YANG HARUS DIMILIKI OLEH
PENYULUH
Penyuluh adalah sebagai abdi masyarakat
khususnya bagi masyarakat tani, penyuluh bukan bukan majikan (bendara) prinsip
ini yang harus dipahami agar bisa menjadi penyuluh yang baik, sehingga semua
aktivitas yang dilakukan dalam melaksanakan tugasnya harus patuh dan tunduk
kepada yang dilayani.
Hal ini sangat penting terutama dalam
proses perencanaan, sebagai ilustrasi ketika sebuah rumah tangga yang terdiri
dari bapak, ibu, anak dan pembantu, apabila dalam merancang kebutuhan dan
kegiatan yang merancang dan menentukan pembantunya maka mungkin keluarga
tersebut akan menjadi Kacau.
Begitu juga suatu negara, apabila semua
kegiatan yang akan dilaksanakan yang menetukan hanya orang-orang yang meduduki
jabatan tanpa melibatkan rakyatnya (bendaranya) maka negara tersebut akan sulit
untuk maju, karena belum tentu program tersebut bisa dilaksanakan dan diterima
oleh masyarakat.
Demikian juga dalam dunia penyuluhan
hendaknya perencanaan dilaksanakan dengan melibatkan segenap komponen
masyarakat khususnya petani sebagai pelaku usaha dan pelaku utama, sehingga
program yang akan dilaksanakan akan sesuai dengan yang dikehendaki oleh
masyarakat pertanian.
Untuk menjadi penyuluh yang baik maka
harus memiliki sikap dan perilaku yang baik, sikap dan perilaku tersebut meliputi: tepa, tresna,
kumawula, sembada, momat, momang, momar, mursit lan murakabi.
A.
TEPA
Tepa = sirik ing kadurakan, bisa manunggalke pangucap lan
pakarti, jumbuhake utusaning batin kang cumetha ing lahire.
Penyuluh harus jujur, apa adanya, terus terang, terbuka,
konsisten, tidak dibuat – buat.
penyuluh hendaknya
jangan memberi contoh, tetapi selalu berusaha untuk menjadi contoh.
Apa yang diucapkan dan yang dikerjakan serta yang dirasakan tidak bertolak
belakangan, dan bisa mencerminkan diri yang sebenarnya.
Sebagai penyuluh pantang memberikan informasi yang tidak
benar, jangan sekali-kali memberikan penjelasan yang belum jelas kebenarannya
baik yang menyangkut informasi teknologi, pasar dan informasi yang lainnya.
Sehubungan dengan hal tersebut maka penyuluh hendaknya
secara terus meningkatkan pengetahuannya dengan cara membaca, mendengar dan
bertanya tentang perkembangan teknologi yang setiap saatnya selalu berkembang,
apabila hal ini dilakukan maka penyuluh tidak akan ketinggal tentang informasi
dan selalu percaya diri didepan petani.
B.
TRESNA
Tresna = tansah mamrih ing karukunan, tansah handarbeni
rasa wajib nyawiji datan mawas sawenehing pakaryan, kewasissan, drajat pangkat,
bangsa lan agama.
Penyuluh yang baik adalah yang bisa menciptakan kerukunan
menjaga kesatuan dan persatuan, tidak membeda mbedakan pekerjaan, kedudukan,
pendidikan, agama dll.
Perlu diingat peserta didik penyuluh dalam suatu kelompok
petani biasanya sangat heterogen: jenis kelaminnya, usahanya , dasar pendidikannya,
kebudayaannya, pengalamannya, kecerdasannya, kemudian ada yang aktif, ada yang
pasif.
Ketika penyuluh baru melaksanakan pertemuan dalam rangka
pembelajaran hindari diskriminatif / membeda bedakan, karena tindakan ini akan menimbulkan
dominasi pembicaraan.
C.
KUMAWULA
Kumawula = Ngerti ing wajib, tansah handarbeni rasa wajib
sumembah mring pangeran kanthi lantaran sholat sembahyang apa dene panyuwunan
manut kapercayane dewe - dewe.
Seorang penyuluh wajib menjalankan ibadah sesuai dengan
agama yang dianut masing – masing, selalu ingat bahwa hidup ini ada yang
mencipta atau menghidupkan.
Semua kejadian yang ada di dunia ini adalah atas
kehendaknya, manusia diwajibkan utuk berusaha lahir dan batin sedangkan
hasilnya akan ditentukan oleh Tuhan yang Maha Esa.
D.
SEMBADA
Sembada = tan mingkuh salwiring kewuh
Penyuluh harus tekun, tatag, tangguh, dan penuh tanggung
jawab.
E.
MOMONG
Mamong = suka hangladeni nara demen ing ladenan.
Penyuluh akan menjadi juru ladi akan menjadi pelayan
masyarakat tidak akan dilayani oleh masyarakat.
Untuk bisa menjadi pelayan yang baik harus tahu kehendak
yang akan dilayani untuk itu pemandu harus: BERFIKIR DAN MERASAKAN SEPERTI
PESERTA
Biarkan diri anda menyatu dalam pengalaman dan kehidupan
sehari hari para peserta “ Bisa manjing ajur ajer mring bebrayan”
F.
MOMOR
Mamor = gampil ing pasrawungan
Seorang penyuluh harus mudah dikenal, dapat bergaul
dengan masyarakat / yang akan di fasilitasi.
Penyuluh tidak angkuh, sehingga akan disegani, mengakui
kehadiran orang lain, tidak menonjolkan
diri, tidak mengguruhi.
Karena sikap mengguruhi dapat dirasakan sebagi meremehkan
ingat petani adalah orang – orang yang kaya dengan pengalaman lapangan.
G.
MOMOT
Mamot = mboten gampil serik
lamun cinacat saha mboten bombong kalamun kaalembana.
Tidak mudah tersinggung dan
sakit hati kalau dikritik dan tidak mudah terbui oleh pujian. Karena orang yang
mudah terbuai dengan pujian akan melemahkan dirinya.
Respek = mempunyai pandangan
positif terhadap setiap ucapan, ungkapan, respon dari peserta. Menghormati
perasaan, pengalaman dan pendapat orang lain.
Membuka diri = Menerima
keterbukaan orang lain tanpa menilai dengan ukuran konsep dan pengalaman
sendiri.
Tidak memutuskan pembicaraan =
dengarkan dengan penuh perhatian setiap pembicaraan orang lain. Jangan diputus
hanya karena anda merasa bosan.
Sebagai penyuluh tidak
terpancing untuk menjawab sendiri segala pertanyaan, dorong dan beri kesempatan
peserta lain untuk menjawab.
H.
MURSID
Mursit = lantip
ing panggraito
Sebagai penyuluh berusaha untuk cerdas dan analitis,
tanggap terhadap swasana. Untuk bisa mempunyai sifat ini penyuluh harus kaya
tentang data yang ada diwilayahnya baik yang menyakut sumberdaya Manusia,
sumberdaya alam, sumberdaya sosial, sumberdaya ekonomi, sumberdaya buatan yang
ada diwilayahnya
I.
MURAKABI
Murakabi = tansah hanengenaken mring kabetahaing tiyang
sanes.
Mengutamakan kepentingan / kebutuhan orang lain. Sifat
ini sangat penting bagi penyuluh untuk bisa membedakan antara kepentingan
individu, keluarga dan kepentingan dinasnya.
Ketika kita akan
mentranfer teknologi kepada petani yang memerlukan adanya pertemuan kelompok,
tentunya kita tidak bisa menetukan waktu pertemuan, waktu pertemuan yang baik
adalah diserangkan kepada para petani, seandainya petani bisanya pertemuan
malam tentunya seorang penyuluh juga harus bisa menghadiri pada malam hari.
Menghadirkan diri
secara penuh, siap menertai dan mendampingi peserta dalam segala keadaan.
Melibatkan diri dalam suka dan duka para peserta.
BAB. IV PENYULUH BEGAWAN HARUS MEMILIKI WAHYU MAKUTHA
RAMA
Agar penyuluh dapat diterima
dan sekaligus menjadi panutan masyarakat petani pelaku utama dan pelaku usaha maka
seorang penyuluh harus memahami dan menjiwai tentang wahyu Makutha Rama
Arti dari Wahyu Sri Makutha
Rama, wahyu itu adalah merupakan suatu anugrah yang tumbuh dari keseriusan dan
kejujuran setiap orang dalam berusaha (wahyu iku kang tuwuh saka temening
pangudi), Sri merupakan gelar seorang Nalendra/Raja, makutha adalah salah
satu perlengkapan busana seorang ratu/raja (makutha kuwi agemaning ratu),
Rama adalah nama raja di kerajaan Pancawati yaitu Prabu Rama.
(Swargi prabu rama nalika samana widagda mangreh sak
isining jagat, ora ngemungake para manungsa sanajan satuana wiwit sakehing
ngadek rumangkang gemremet kabeh bisa suyut, sumujut, sumengkem lahir trusing
batin, karana prabu rama ora pisah pabegan walung perkara)
Delapan perilaku utama meliputi: Surya (matahari), Candra
(bulan), Karttika (bintang), Himanda (awan), Bumi (tanah), Geni (api), Banyu
(air), Angin (udara). Selanjutnya delapan hal tadi disebut ” Hasta Brata ” Hasta berarti delapan Brata artinya perilaku
yang baik (utama).
A.
SURYA (MATAHARI)
Madhangi jagat sarta hanguripi
Surya mengku daya panguasa bisa
madhangi sakisining jagat lan surya hanguripi sadhengah sarta sakalir ora
ngemungake para manungsane kabeh kalebu tanem tuwuh nggone bisa lumagang kang
sarta hamekar, bisa lumadi uripe ana ing madya pada uga kasongan sarta kena
daya panas saka sorote sang whyang surya.
dene pabegane para satria lan narendra uga nulata
lekasing sang wyang surya, ora ngemungake gawe pepadhang atine para kawula
dasih, nanging kudu ana dhasar wani anguripi, tetulung marang kang cingkrangan,
bebantu marang wong kang karepatan, ngayomi marang kang karibetan, nuduhke
dalan dalan kang anjok marang kautaman, ora singlar saka adeg-adeging kasucen.
Matahari bersifat menerangi. Seseorang yang berwatak
matahari akan selalu menjadi penerang di antara sesama sebagaimana watak Bathara Surya. Mampu
menyirnakan segala kegelapan dalam kehidupan. Kapanpun dan di manapun ia akan
selalu memberikan pencerahan kepada orang lain. Matahari juga menghidupi segala
makhluk hidup baik tumbuhan, hewan dan manusia. Manfaat matahari menjadi
penghangat suhu agar tidak terjadi kemusnahan massal di muka bumi akbiat kegelapan
dan kedinginan. Seseorang yang berwatak matahari, ia menjadi sumber pencerahan
bagi kehidupan manusia, serta mampu berperan sebagai penuntun, guru, pelindung
sekaligus menjalankan dinamika kehidupan manusia ke arah kemajuan peradaban
yang lebih baik. Sikap dan prinsip hidup orang yang berwatak matahari, ia akan
konsisten, teguh dalam memegang amanat, ora
kagetan (tidak mudah terkaget-kaget), ora gumunan (tidak
gampang heran akan hal-hal baru dan asing).
Seseorang watak
matahari ibarat perjalanan matahari yang berjalan pelan dalam arti hati-hati
tidak terburu-buru (kemrungsung),
langkah yang pasti dan konsisten pada orbit yang telah dikodratkan Tuhan
(istikomah). Lakuning
srengenge,
seseorang harus teguh dalam menjaga tanggungjawabnya kepada sesama. Tanggungjawabnya
sebagai titah (khalifah) Tuhan, yakni menetapkan segala perbuatan dan tingkah
laku diri ke dalam “sifat” Tuhan. Tuhan Maha Mengetahui; maka kita sebagai
titah Tuhan hendaknya terus-menerus berusaha mencari ilmu pengetahuan yang
seluas-luasnya dan setinggi-tingginya agar ilmu tersebut bermanfaat untuk
kemajuan pradaban manusia, menciptakan kebaikan-kebaikan yang konstruktif untuk
kemaslahatan semua orang dan menjaga kelestarian alam sekitarnya.
B.
CANDRA (BULAN)
Candra iku rembulan, rembulan
maweh daya pepadhang jroning ratri.
padang jingglang bisa maweh daya adem lan jinem, nanging
uga dadi cecoloking laku, dadya oboring lelakon. Mangkono mungguhing salokane
para satria narendra, nulata lekasing sang whyang condra. Peteng gagapana, endi
kang dadi pepeteng sirnakno, sarana sengsemingrasa adhedhasar gelem korban kang
sepi ing pamrih. Yen tetelo mangkono kang padha nampa parintah nggone nggugu
ora mandheg nuninggih dhateng sendika nanging hanrusing batin, apa kang
cinandhak kacakup apa kang ditindakake bisa rampung.
Candra atau rembulan, berwatak memberikan penerang
kepada siapapun yang sedang mengalami kegelapan budi, serta memberikan suasana
tenteram pada sesama. Rembulan membuat
terang tanpa membuat “panas” suasana (dapat ikannya, tanpa
membuat keruh airnya). Langkah rembulan selalu membuat sejuk suasana pergaulan
dan tidak merasa diburu-buru oleh keinginannya sendiri (rahsaning karep). Watak
rembulan menggambarkan nuansa keindahan spiritual yang mendalam.
Selalu eling
dan waspadha,
selalu mengarahkan perhatian batinnya senantiasa berpegang pada harmonisasi dan
keselarasan terhadap hukum alam (arab; kehendak ilahi/musyahadah). Lakuning rembulan,
seseorang mampu “nggayuh
kawicaksananing Gusti” artinya mampu memahami apa yang menjadi
kehendak (kebijaksanaan) Sang Jagadnata. Setelah memahami, lalu kita ikuti
kehendak Tuhan menjadi sebuah “laku tapa ngeli” artinya kita hanyutkan diri
pada kehendak Ilahi. Witing
klapa salugune wong Jawa, dhasar
nyata laku kang prasaja.
Orang yang berwatak rembulan, selalu mengagumi keindahan
ciptaan Tuhan yang tampak dalam berbagai “bahasa” alam sebagai pertanda
kebesaran Tuhan. Bulan purnama menjadi bahasa kebesaran Tuhan yang indah
sekali. Orang-orang tua dan anak-anak zaman dahulu selalu bersuka ria saat
merayakan malam bulan purnama. Karena menyaksikan keindahan malam bulan purnama, bagai
membaca “ayat-ayat” Tuhan, mampu menggugah kesadaran batin dan akal-budi
manusia akan keagungan Tuhan. Sayang sekali kebiasaan itu sudah
dianggap kuno, kalah dengan hiburan zaman modern yang kaya akan tawaran-tawaran
hedonis. Bahkan secara agama, kebiasaan merayakan “padhang mbulan“ oleh orang-orang tertentu
dianggap sebagai tradisi
yang sia-sia karena tidak menimbulkan pahala. Padahal bulan
purnama memiliki khasiat lain sebagai media terapi lahir dan batin di saat
terjadi berbagai kegelisahan jiwa. Sinar bulan purnama sangat baik untuk
mengobati segala macam penyakit dengan cara menjemur diri di bawah sinar bulan
purnama. Apalagi disertai dengan semedi sebagai wahana olah raga dan olah rasa. Itulah
mengapa leluhur kita zaman dahulu melakukan semadi pada saat datangnya bulan
purnama.
C.
KARTIKA
Kartika iku tegese lintang, lintang dadi kekembanging
antoriksa.
mangkono mungguh satria apa dene narendra, tingkah -
laku, muna – muni, tandang – tanduk, solah bawa sarawung tetepa dadi
kekembanging para manungsa. Dene dayane kembang mau bisa pinundi, bisa rinonce,
bisa kinarya cecundhuk, nanging bisa kinarya pepasren. Dene paedahe para satria
narendra ucape gampang digugu, parentahe gampang dituhoni, lumadining srawung
bakal kajen kelingan.
Kartika atau bintang berwatak selalu mapan dan tangguh,
walaupun dihempas angin prahara (sindhung
riwut) namun tetap teguh dan tidak terombang-ambing. Sebagaimana
watak Bathara Ismaya,
dalam menghadapi persoalan-persoalan besar tidak akan mundur selangkahpun
bagaikan langkahnya Pendawa Lima. Sifat Bethara Ismaya adalah tertata, teratur,
dan tertib. Mampu menghibur yang lagi sedih, dan menuntun orang yang sedang
mengalami kebingungan, serta menjadi penerang di antara kegelapan. Seseorang
yang mengadopsi perilaku bintang, akan memiliki cita-cita, harapan dan target
yang tinggi untuk kemakmuran dan kesejahteraan tidak hanya untuk diri sendiri
namun juga orang banyak. Maka sebutan sebagai “bintang” selalu dikiaskan dengan
suatu pencapaian prestasi yang tinggi. Posisi bintang akan memperindah
kegelapan langit di malam hari. Orang yang berwatak bagai bintang akan selalu
menunjukkan kualitas dirinya dalam menghadapi berbagai macam persoalan
kehidupan.
D.
HIMANDA
Himanda tegese mendhung, mendhung iku duweni watak adil.
yen wis wancine tumiba mendhung dadi udan, ora mawas papan, nadyan
ngungkulana gunung, ngungkulana alas, ngungkulana kutha, ngungkulana praja,
udan mesti tumiba, dene mangkono dadi sanepane para ambeg adil, para kang
ngasta jejeging adil, aja nganggo ndadak nganggo mawas sanak kadang pawang
mitra, sapa wae kang wajib nampa adil kudu diadili kang murwat adhedhasar hukum
sarta nganggoa landhesan pidana.
Akasa atau langit. Bersifat melindungi
atau mengayomi
terhadap seluruh makhluk tanpa pilih kasih, dan memberi keadilan dengan membagi
musim di berbagai belahan bumi. Watak langit ini relatif paling sulit
diterapkan oleh manusia zaman sekarang, khususnya di bumi nusantara ini.
Seorang pemimpin, negarawan, politisi, yang mampu bersikap tanpa pilih kasih
dan bersedia mengayomi seluruh makhluk hidup, merupakan tugas dan
tanggungjawab yang sangat berat. Apalagi di tengah kondisi politik dan
kehidupan bermasyarakat yang cenderung mencari benarnya sendiri, mencari untungnya
sendiri, dan mencari menangnya sendiri. Tidak jarang seseorang, atau wakil
rakyat yang hanya memperjuangkan kepentingan partainya saja, bukan kepentingan
bangsa. Bahkan anggota legislatif, pimpinan masyarakat, para aktor intelektual,
pemuka spiritual terkadang tak menyadari sedang mengejar kepentingannya
sendiri, atau kepentingan kelompoknya saja. Orang-orang di luar diri atau
kelompoknya dianggap tidak penting untuk diayomi.
Orang yang berbeda peristilahan, bahasa, budaya, adat istiadat, dan tradisi sekalipun
sebangsa dan setanah air, tetap saja diasumsikan sebagai orang yang tak
perlu di bela dan dilindungi. Bahkan orang-orang tersebut dianggap sesat,
pembual, pembohong, penipu. Prasangka-prasangka negatif ini sangat bertentangan
dengan watak akasa.
Akasa atau langit akan melihat secara gamblang beragamnya persoalan kehidupan
di muka bumi ini. Kewaskitaan akasa
seumpama mata satelit, ia akan menyaksikan bahwa ternyata di atas bumi ini
terdapat ribuan bahkan
jutaan jalan spiritual menuju satu titik yang sama, meskipun
jalan yang ditempuh sangat beragam dan berbeda-beda. Maka watak langit tak suka
menyalahkan orang lain, tak suka menghujat sesama, tak suka memaki dan
mengumpat sekalipun terhadap orang yang memusuhinya. Itulah watak langit,
sebagaimana terdapat pada Bethara
Indra. Justru terhadap semua manusia apapun watak, dan
bagaimanapun sikapnya Bethara Indra akan selalu ngemong sesama, mampu mengelola
watak mengalah, mampu menahan diri, meredam emosi, dan membimbing seluruh
makhluk hidup dengan cara yang penuh dengan kasih sayang. Dalam manajemen perilaku Jawa,
sikap ini selalu diutamakan terutama dalam pasamuan,
bebrayan (bermasyarakat),
pertemuan, diskusi, dan dalam berbagai pergaulan. Maka watak Jawa menuntut
perilaku hambeg utama,
lumuh banda, luhur
dalam budi pekerti atau solah
(perilaku jasad) dan bawa
(perilaku batin). Sedangkan terhadap yang masih bodoh, sikapnya tiada pernah
mempermalukan dan meremehkan. Itulah watak Bathara Indra, sebagai watak akasa atau langit. Sayang sekali, watak ini sudah
terkena polusi “watak asing” yang menjadikan seseorang tidak canggung
mencaci orang lain yang
berada di luar kelompoknya, dan menyalahkan orang yang tak sepaham dengannya. Salah
satu sikap, bila ingin mengaplikasi watak Bathara Indra, bilamana kita berangkat
dengan kesadaran bahwa ilmu pengetahuan yang kita kuasai seumpama sebutir
debu yang beterbangan, maka kita tak akan pernah memiliki watak merasa paling
benar dan pandai. Karena rahasia ilmu yang terdapat di jagad raya ini adalah
sebanyak debu yang ada di seluruh alam semesta.
E.
BUMI
Bumi kuwi ambeging lumuh kapotangan.
Najan katiban wiji jagung dhukule uga jagung, yen wiji
pari thukule yo pari lan bumi watake mamot lan kamot. Tegese kamot di enciki
apa wae ora ngemungake manungsa sanajanta gunung ana ing bumi mboten nate
kapireng sambate, mamot tegese bisa madhahi sekalir ingkang kumelit. Mangkono
panjenengane narendra apa dene satria kudu kerep ngrungakake sesambate para
kawula dasih, aja amung sarana mandeng awit saka nampa pradul nanging kudu cetha
lan trawaca, yenta satria narendra anggung nggenya padha midhangetake
suwararing para kawula dasih, sarana nawur kawula dadi sarwa cetha kang sarwa
gamblang wekasane bisa mamot lan kamot.
Digambarkan watak Bethara Wisnu sebagai
karakter bumi yang memiliki sifat kaya akan segalanya dan suka berderma.
Pemimpin yang mengikuti sifat bumi adalah seseorang yang memiliki sifat kaya
hati. Dalam terminologi Jawa kaya hati disebut sabardrono, ati jembar, legawa dan lembah manah. Rela menghidupi dan menjadi
sumber penghidupan seluruh makhluk hidup. Bumi secara alamiah juga berwatak
melayani segala yang hidup. Bumi dengan unsur tanahnya bersifat dingin tidak kagetan dan gumunan, sebaliknya
bersifat luwes (fleksibel) mudah adaptasi dengan segala macam situasi dan kondisi
tanpa harus merubah unsur-unsur tanahnya. Maknanya, sekalipun seseorang
bersifat mudah adaptasi atau fleksibel namun tidak mudah dihasut, tak mempan
diprovokasi, karena berbekal ketenangan pikir, kebersihan hati, dan kejernihan
batinnya dalam menghadapi berbagai macam persoalan dan perubahan.
Bumi juga selalu
menempatkan diri berada di bawah menjadi alas pijakan seluruh makhluk. Artinya
seseorang yang bersifat bumi akan bersifat rendah hati, namun mampu menjadi
tumpuan dan harapan orang banyak. Sifat tanah berlawanan dengan sifat negatif
api. Maka tanahlah yang memiliki kemampuan efektif memadamkan api. Api atau
nar, merupakan ke-aku-an yang sejatinya adalah “iblis” yakni tiada lain nafsu
negatif dalam diri manusia. Seseorang yang bersifat bumi atau tanah, tidak akan
lepas kendali mengikuti jejak nafsu negatif.
Bumi dalam hukum adi
kodrati memiliki prinsip keseimbangan dan pola-pola hubungan yang harmonis dan
sinergis dengan kekuatan manapun. Namun demikian, pada saat tertentu bumi dapat
berubah karakter menjadi tegas, lugas dan berwibawa. Bumi dapat melibas
kekuatan apapun yang bertentangan dengan hukum-hukum keseimbangan alam.
Seseorang yang memiliki watak bumi, dapat juga bersikap sangat tegas, dan mampu
menunjukkan kewibawaannya di hadapan para musuh dan lawan-lawannya yang akan
mencelakai dirinya. Akan tetapi, bumi tidak pernah melakukan tindakan
indisipliner yang bersifat aksioner dan sepihak. Karena ketegasan bumi sebagai
bentuk akibat (reaksi) atas segala perilaku disharmoni.
F.
GENI
Geni kuwi nduwe watak pambrastha.
Mbrasta apa wae
kang nyulayani angger-anggering bawana ageng. Mangkono para satria narendra
kudu wani hanemah satru angkara memalaning jagat kang bakal handeder kerusakan,
kang bakal gawe dardah, sarta kang tansah gawe unar ana jroning bebrayan.
Agni atau api atau dahana.
Yang diambil adalah sisi positif dari watak api yakni Bathara Brahma. Watak
api adalah mematangkan dan meleburkan segala sesuatu. Seorang yang mengambil
watak api akan mampu mengolah semua masalah dan kesulitan menjadi sebuah
pelajaran yang sangat berharga. Ia juga bersedia untuk melakukan pencerahan
pada sesama yang membutuhkan, murah hati dalam mendidik dan menularkan ilmu
pengetahuan kepada orang-orang yang haus akan ilmu. Mematangkan mental, jiwa,
batin sesama yang mengalami stagnansi atau kemandegan spiritual. Api tidak akan
mau menyala tanpa adanya bahan bakar. Maknanya seseorang tidak akan
mencari-cari masalah yangbukan kewenangannya. Dan tidak akan mencampuri urusan
dan privasi orang lain yang tidak memerlukan bantuan. Api hanya akan melebur
apa saja yang menjadi bahan bakarnya. Seseorang mampu menyelesaikan semua
masalah yang menjadi tanggungjawabnya secara adil (mrantasi ing gawe). Serta tanpa
membeda-bedakan mana yang mudah diselesaikan (golek penake dewe), dan tidak memilih
berdasarkan kasih (pilih
sih) , memilih berdasarkan kepentingan pribadinya (golek butuhe dewe).
G.
BANYU
Banyu iku dadi panguripan.
Ing ngendi endi papan ana banyu mesti ana panguripan, yo
sanadyan pucuking nggunung, yo sanadyan tepining samodra, yo sanadyan papan
ngenthak-enthak dadi bulak, nanging yen ing kono ana banyu sayekti ana
panguripan, dene kang tak sebut panguripan ing kene ora mung makluk ingkang
asifat manungsa kalebu uripe kutu-kutu walang ataga apadene uripe sagung
thethukulan. Lumadining para satria narendra kudu bisa nguripi ing sadhengah
sapawae kang wajib diuripi.
Mengambil sisi positif dari watak maruta. Tirta atau air
berwatak selalu rendah hati dalam perilaku badan (solah) dan perilaku batin
(bawa) atau andhap asor.
Selalu menempatkan diri pada tempat yang rendah, umpama perilaku dinamakan
rendah hati (lembah manah)
dan sopan santun (andhap
asor). Orang yang berwatak air akan selalu rendah hati, mawas diri,
bersikap tenang, mampu membersihkan segala yang kotor. Air selalu mengalir
mengikuti lekuk alam yang paling mudah dilalui menuju samodra. Air adalah
gambaran kesetiaan manusia pada sesama dan pada kodrat Tuhan. Air tidak pernah
melawan kodrat Tuhan dengan menyusuri jalan yang mendaki ke arah gunung,
meninggalkan samodra. Orang yang berwatak air, perbuatannya selalu berada pada
kehendak Tuhan, jalan yang ditempuh selalu diberkahi Gusti Kang Murbeng Dumadi.
Sehingga watak air akan membawa seseorang menempuh jalan kehidupan dengan irama
yang paling mudah, dan pada akhirnya akan masuk kepada samodra anugrah Tuhan
Yang Maha Besar. Tapi jangan mengikuti watak air bah, tsunami, lampor, rob,
yang melawan kodrat Tuhan, perbuatan seseorang yang menerjang wewaler, religi,
tatanan sosial, tata krama, hukum positif, serta hukum normatif.
Berwatak air, akan membawa diri kita dalam sikap yang
tenang, tak mudah stress, tidak mudah bingung, tidak gampang kagetan,
lemah-lembut namun memiliki daya kekuatan yang sangat dahsyat. Sikap kalem
tidak bertabiat negatif. Namun hati-hatilah karena orang sering merasa sudah
mengikuti watak air, namun tidak menyadari yang diikuti adalah air bah,
maknanya adalah watak cenderung membuat kerusakan, diburu-buru, tanpa
perhitungan, asal ganyang, buta mata akan resiko, yang penting gasak dulu,
urusan dipikir dibelakang (pecicilan/pencilakan/cenanangan/jelalatan).
H.
ANGIN
Angin tegese bisa manjing ajur ajer. rehning cacahe
para kawula mau, kadhapuk ana pirang-pirang perangan, ya ana kang adrajat
brahmana, ya ana kang adrajat wesia, ya ana kasta sudra, tetela kang wis padha
ngluguhi kastane dhewe-dhewe mau, para narendra ya satria kudu mamet prana
hangenaki tyasing sasama.
Para brahmana bakal anteng nggone memuja semedi yen
kaayoman dening katentreman, para waesia bakal lumadi nggone nindakake
pakaryaning nakudha yen ta kaayoman ing katentreman, mangkono uga para sudra
bakal bisa bungah-bungah rasane yento ing ngayoman dening katentreman.
Maruta atau angin atau udara. Mengambil sisi positif
dari watak angin Bathara
Bayu. Angin memiliki watak selalu menyusup di manapun ada ruang
yang hampa, walau sekecil apapun. Angin mengetahui situasi dan kondisi apapun
dan bertempat di manapun. Kedatangannya tidak pernah diduga, dan tak dapat
dilihat. Seseorang yang berwatak samirana
atau angin, maknanya adalah selalu meneliti dan menelusup di mana-mana, untuk
mengetahui problem-problem sekecil apapun yang ada di dalam masyarakat, bukan
hanya atas dasar kata orang, katanya, konon, jare,
ceunah ceuk ceunah.
Watak angin mampu merasakan apa yang orang lain rasakan (empati), orang berwatak
angin akan mudah simpati dan melakukan empati. Watak angin sangat teliti dan
hati-hati, penuh kecermatan, sehingga seorang yang berwatak angin akan
mengetahui berbagai persoalan dengan data-data yang cukup valid dan akurat.
Sehingga menjadi orang yang dapat dipercaya dan setiap ucapannya dapat
dipertanggungjawabkan.
KEDALAMAN
MAKNA HASTA BRATA
Kebulatan dalam
menerapkan Hasta Brata dapat menumbuhkan sikap dan tekad bulat menetapkan diri
pada kodrat Gusti Kang Akarya Jagad serta menjauhkan diri dari segala sikap
berseteru dengan Tuhan, sebaliknya selalu eling
dan wasadha, dapat menselaraskan antara ucapan dengan perbuatan. Selalu
mengutamakan sikap sabar dalam menghadapi semua kesulitan dan penderitaan,
berpendirian teguh tidak terombang-ambing oleh keadaan yang tidak menentu,
tidak bersikap gugon tuhon
atau anut grubyug
(taklid), ela-elu, sikap asal–asalan. Pikiran
kritis, hati yang bersih, batin yang selalu bening tidak berprasangka buruk,
serta tidak mencari-cari keburukan orang lain. Bersikap legawa dan menerima apa
adanya akan hasil akhir (qona’ah) terhadap apa yang diperolehnya. Dengan tetap
memiliki semangat juang dan selalu berusaha tanpa kenal putus asa.
Dimilikinya watak, sifat, karakter,
tabiat sebagaimana terangkum dalam Hasta Brata yang dapat membuka “olah rasa”
untuk selalu eling
mampu berkecimpung dalam pergaulan luas dan segala tatanan masyarakat. Pasrah
dengan bersandar pada kecermatan fikir dan kebersihan nalar. Untuk mengupayakan
jalan hidup agar tidak keluar dari rambu-rambu dalam mewujudkan harapan, serta
menciptakan ketenteraman, keselamatan dan kesejahteraan bersama. Demikianlah
nilai-nilai kepemimpinan yang terkandung di dalam falsafah Hasta Brata yang
menjadi pusaka pegangan Prabu Rama Wijaya dan Prabu Sri Bethara Kresna sewaktu jumeneng raja di tlatah
Ayodya Pala. Yang diwejangkan juga kepada Raden Arjuna.
Ada tiga nilai terpenting yang dapat
dijadikan benang merah :
Pertama; pola kepeminpinan Prabu Rama Wijaya
dan Prabu Sri Bathara Kresna yang menjadi nilai-nilai luhur dan patut menjadi
teladan bagi siapapun yang menjadi pemimpin bangsa ini. Beliau berdua mampu
memimpin negara dengan adil dan bijaksana, sehingga nama keduanya sangat harum
di mata rakyatnya.
Kedua; walaupun bertemakan kepemimpinan,
namun nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya dapat menjadi teladan
siapapun, sekalipun bukan pimpinan negara, karena setiap manusia minimal
menjadi pemimpin atas dirinya sendiri. Bila seseorang mampu menghayati dan
mengamalkan pusaka Hasta Brata pastilah akan menemukan keharmonisan dalam
kehidupan dan pergaulan masyarakat.
Ketiga; bila kita meneladani kedelapan
bagian dari jagad raya tersebut berarti kita memasuki wilayah spiritual yang
bernilai religiusitas tinggi. Membaca tanda-tanda alam sama halnya memahami
kegungan Tuhan. Ibarat membaca ayat-ayat Tuhan yang tersirat dalam bahasa
kebijaksanaan kodrat alam. Umpama kalimat tanpa tulisan, papan tulis tanpa ada
tulisan. Dapat juga dipersonifikasikan sebagai “tapaking kuntul anglayang”.
MAKNA TAK TERTULIS
Alam semesta beserta seluruh
tanda-tandanya sebenarnya merupakan ayat yang tersirat. Jika mau jujur, lihat
dan cermatilah kebijaksanaan yang tampak dalam bahasa alam tiada nilai yang
bertentangan atau bersinggungan dengan ayat kitab suci manapun. Ini cukup
membuktikan bahwa ilmu Tuhan teramat luas tiada batasnya.
Jika anda ingin melihat BUKTI (bukan
sekedar tulisan) kebesaran Tuhan, maka lihatlah tanda-tanda menakjubkan yang
terdapat dalam ruang-ruang jagad raya. Pergilah ke gunung, ke pantai, pandangi
sunrise dan sunset, gelombang laut, resapilah saat hujan dan badai menerpa,
guntur dan kilat menyambar, semua merupakan kalimat akan kebesaran Tuhan.
Sekali lagi, makna yang tersimpan dalam kalimat tanpa tulis dan kata-kata.
Kalimat yang tidak dibatasi oleh bahasa, suku, dan bangsa tertentu. Kata-kata
dan huruf yang tidak terkungkung oleh adat istiadat, tradisi, dan ajaran
tertentu. Istilah yang tidak tergantung oleh ilmuwan tertentu. Karena
hakekatnya adalah kalimat universal, diperuntukkan untuk segala yang hidup, tidak
terbatas manusia, namun binatang dan makhluk gaib semuanya. Tidak terbatas
hanya untuk pemimpin, kepala suku, rakyat jelata, bangsawan, orang-orang sudra.
Itulah bukti nyata kebesaran Tuhan Yang maha Tunggal, Yang lebih dari Maha
Besar. Tuhan yang lebih dari Maha Adil dan Bijaksana. Sayang sekali,
manusia sering bertengkar gara-gara tak mampu menangkap anugrah perbedaan.
Haruskah manusia dikudeta oleh
binatang ? Ataukah
manusia harus berguru kepada makhluk hidup lainnya, kepada binatang melata,
kepada burung, gajah, atau bahkan kepada makhluk gaib. Karena mereka tidak
pernah tercemar oleh polusi nafsu diniawi seperti manusia, sehingga mereka
masih memiliki ketajaman instink dalam menangkap bahasa dan kalimat Tuhan.
Mengerti bilamana akan terjadi bencana dan musibah alam. Jujur saja kami sering
dipaksa harus berguru kepada mereka. Dan saya tidak terlalu
berani menyombongkan diri sebagai makhluk paling sempurna di antara semua
makhluk Tuhan, hanya gara-gara memiliki akal-budi. Bukankah kita dapat menjadi
hina, lebih hina daripada binatang paling hina sekalipun, hanya karena salah
kelola akal-budi kita.
BERGURU PADA ORANG BODOH
Orang-orang zaman dulu seringkali
dianggap orang bodoh, cubluk, kekolotan, tidak canggih, tradisionil, serta
udik. Penilaian subyektif hanya berdasarkan penglihatan mata wadag dan hanya
bersadarkan dari omongan ke omongan orang yang sama-sama tidak menilai secara
subyektif. Asumsi di atas merupakan hak setiap orang melakukan penilaian. Namun
perlu lebih hati-hati dalam melakukan penilaian, sebab jika yang salah kaprah
akan menjadi sia-sia bahkan merugikan diri sendiri. Pada saat banyak orang
ramai-ramai memberikan asumsi negatif akan tradisi kuno, saat itu pula kami
mencoba berfikir positif, dan bertanya-tanya mengapa penilaian negatif itu
muncul. Bagaimana seandainya saya ada di pihak yang dinilai negatif.
Leluhur bangsa di masa lalu sejak
2500 tahun SM telah melakukan kegiatan spiritual. Perjalanan spiritualnya
semakin berkembang seiring perjalanan waktu ke waktu. Pada intinya, leluhur
masa lalu sangat menganjurkan agar manusia mengamati tanda-tanda kebesaran
Tuhan dengan mencermati alam semesta. Hal ini menimbulkan apa yang disebut
sebagai “ngelmu titen”.
Ilmu untuk mencermati segenap tanda-tanda alam sebagai wujud bahasa dan kalimat
Tuhan yang tak tertulis. Ngelmu titen diperoleh setelah seseorang rajin
mencermati dan membaca tanda-tanda alam. Dengan melakukan semadi di gunung,
laut, tempat-tempat sepi. Bukan saja mata wadag yang akan menyaksikan keagungan
Tuhan, lebih dari itu, mata batin akan turut menjadi saksi kebesaran Tuhan yang
lebih dahsyat lagi, setelah merasakan getaran energi alam, atau daya magis
(metafisik) di balik semua unsur-unsur bumi dalam Hasta Brata.
Singkat kata, dengan melakukan
perenungan-perenungan, semedi, penghayatan di tempat-tempat tertentu, yang
sunyi, indah dan menakjubkan akhirnya dapat menggugah getaran jiwa, dengan
membuka kesadaran batin kita sehingga dapat menciptakan harmonisasi atau
sinergi antara energi yang ada dalam “jagad kecil” (diri manusia) dengan “jagad
besar” (alam semesta). Bila keselarasan tersebut telah tercipta maka akan
membuka pemahaman akan “jati diri Tuhan”, sehingga muncul daya kekuatan “gaib”
yang mendorong kita untuk semakin dekat kepada Tuhan. Berkaitan dengan ilmu Hasta
Brata, manusia Jawa masa lampau, memiliki ilmu kepemimpinan yang secara
kualitas lebih baik dan lebih canggih daripada pemimpin zaman modern saat ini.
Dalam artian kemampuannya untuk merumuskan setiap fenomena yang terjadi dan
mendiagnosa setiap permasalahan secara tepat, kemudian membuat rencana problem solving
kemudian melakukan manuver-manuver yang bersifat konkrit. Meliputi berbagai
bidang kehidupan, sosial, politik, ekonomi, hukum. Bidang-bidang kehidupan
dapat dideskripsikan secara cermat dan tepat sehingga tidak melakukan kesalahan
dalam membuat suatu kebijakan. Pemimpin zaman dulu, memperoleh legitimasi dan
kelanggengan kekuasaannya bukan saja karena alur genealogis atau faktor
keturunan, lebih penting dari itu kelanggengan kepemimpinan atas dasar sistem
kepemimpinan yang bijaksana, adil, dan benar-benar mensejahterakan rakyatnya,
sehingga kekuasaannya bertumpu pada power
of law kekuasaan dengan legitimasi hukum formal dan pengakuan dari
rakyat. Lain halnya dengan kebanyakan pola kepemimpinan zaman sekarang, yang
disibukkan manuver-manuver politik mempertahankan kekuasaan, bukan konsentrasi
mensejahterakan masyarakat. Sehingga legitimasi politiknya terbalik menjadi law of the power, ia
menciptakan “hukum” demi mempertahankan kekuasaannya. Kelemahan paling besar
pemimpin zaman sekarang adalah kurang mampu berkomunikasi dengan bahasa alam
yang mengisyaratkan pesan-pesan penting dan gaib, apa yang harus dilakukan saat
ini dan masa mendatang. Mungkinkah para pemimpin terlalu meremehkan bahasa alam
? Sementara Tuhan mengirimkan isyaratNya melalui bahasa alam itu. Maka
terjadilah deadlock,
yakni kemacetan komunikasi antara manusia dengan Tuhannya.
sabdalangit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar